SEJARAH BANGSA INDONESIA


Semenjak zaman nusantara hingga zaman Negara-Bangsa, perjalanan sejarah Indonesia selalu terkait dengan perkembangan di belahan dunia lain. Hubungan dagang antara penduduk kerajaan- kerajaan di Nusantara telah terjalin dengan sejak abad ke-8 M dengan bangsa Tionghoa, India, Mesir,Persia. Lalu mulai tahun 1511 hubungan dagang tersebut terjalin dengan bangsa eropa melalui armada Portugis yang di pimpin oleh Alfonso d’ Albuquerque. Secara kasat mata pula itulah hubungan perdagangan asimetris pertama yang terjalin antara kerajaan- kerajaan Nusantara dengan bangsa asing.
Bila di telisik satu persatu, hampir tidak ada satupun kerajaan Nusantara yang tidak terkait dengan perkembangan bangsa/kerajaan lain di luar Nusantara. Sebagai misal, perjalanan sejarah samudra pasai berhubungan dengan konflik politik-ekonomi-teologi antara Dinasti Fatimiyah di Mesir yang syiah dan Sholahuddin Al-Ayyubi yang bermazhab Syafi’i (Sunni). Melalui Samudera Pasai, Dinasti Fatimiyah menguasai perdaganga lada. Menurud catatan sejarah, hasil yang di dapat dari perdagangan lada ketika itu mampu mengalirkan keuntungan yang berlipat bagi dinasti tersebut.
Hingga saat Dinasti Fatimiyah berhasil di kalahkan oleh tentara Shalahuddin pada tahun 1168, hubungan Samudera Pasai dengan Mesir terputus. Baru lebih dari satu abad kemudian (1285) Syi’ah di Samudera Pasai berhasil digeser oleh kaum Sunni Mahzhab Syafi’i yang saat itu berpusat di Mesir. Bahkan Sultan Malikul Saleh (Marah Silu) di lantik sebagai raja oleh Syaikh Isma’il, utusan Dinasti Mamluk, dan menjadi raja Samudera Pasai pertama dari aliran sunni. Keuntungan perdagangan lada dan berbagai jenis rempah-rempah pun mengalir kembali ke mesir.
Kerajaan lain seperti Sriwijaya, Malaka, dan Majapahit juga memiliki kecenderungan serupa. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu pusat agama Budha dan selalu di kunjungi oleh para pendeta yang berziarah ke India. Untuk melindungi diri dari serangan kerajaan siam, tahun 1402 Raja Parameswara (Malaka) meminta pengakuan kedaulatan dari kaisar Yung-Lo (Tiongkok/Dinasti Ming). Demikian pula Majapahit , menjelang keruntuhannya, raja majapahit terakhir Prabu Giriwardhana (1468-1527) bahkan berupaya untuk menacari dukungan dari Portugis dalam melawan Demak.
Sejarah pembentukan negara-bangsa (Nation-State) Indonesia bahkan lebih jelas lagi dalam menunjukkan pengaruh gejolak di belahan dunia lain terhadap Indonesia. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris ke bagian-bagian Nusantara merupakan buah dari persaingan dagang dan politik antar negara Eropa tersebut. Salah satunya adalah persaingan dagang Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian dengan Eropa sebagai titik tengahnya. Bagian timur di miliki oleh Portugis dan Sebelah barat ‘diserahkan’ kepada Spanyol.
Politik etis yang banyak melahirkan intelektual-nasionalis generasi pertama Indonesia juga merupakan gelombang kesekian dari dinamika politik dan ekonomi Belanda-Eropa. Termasuk Nasiolisme dan konsep Negara-Bangsa (Nation-State), merupakan sublimasi teoritik-konseptual yang lahir dari pergulatan sosio politik dan sosio ekonomi bangsa-bangsa di Eropa. Nasionalisme di kenal pertama kali sebagai teori melalui catatan kuliyah umum yang di sampaikan oleh Ernest Reanen di Universitas Sorbonae Paris tahun 1882. Karya itu berjudul “Qu’est-ce qu’un nation?” (What is Nation ?) yang berakar jauh dalam sejarah sosial dan ekonomi Revolusi Perancis 1678.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 terjadi di moment anti klimaks PD II 1945, tepat ketika sekutu berhasil menundukkan negara- negara Axis. Dengan cerdik dan berani para aktivis Pergerakan Nasional mencuri moment untuk memproklamirkan kemerdeakaan Indonesia. Keawasan mengawasi gerak internasional, kecerdikan dan keberanian semacam itu ternyata belum mucul kembali hingga dekade pertama abad XXI ini. Padahal dalam periode-periode tersebut hingga saat ini, indonesia tetap di pengaruhi oleh perkembangan di belahan dunia lain dan oleh kenyataan Global. Siapa yang dapat menyangkal bahwa politik dan ekonomi indonesia terpencil dari perang dingin sepanjang tahun 1946 s/d 1990? Dan siapa dapat membuktikan bahwa ekonomi dan politik indonesia terpisah dari gerak sistem dunia neoliberal pasca perang dingin?.
Potret sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat di baca tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak internasional. Bahkan dalam konteks gerakan, menghitung gerak internasional menjadi pra-syarat wajib dalam merumuskan gerakan di indonesia. Ada pendapat bahwa pembacaan gerak internasional di rasa muluk-muluk dan tidak sambung dengan keadaan riil sehari-hari orang perorang. Namum faktanya, negara –bangsa Indonesia merupakan bagian kenyataan global. Sehingga dalam kenyataan global dan posisi indonesia di dalamnya mau tidak mau harus di lakukan.

INDONESIA DI TENGAH PASAR BEBAS
Dalam peradaban baru dunia global, kemajuan tekhnologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal. Melalui tekhnologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan industri mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain hanya dengan memencet mouse komputer.
Selain tekhnologi informasi , sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh pemodal raksasa dari/dannegara-negara dunia pertama. Tanpa menutup optimisme, andai kita jujur, Indonesia dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global. Sebabnya, dalam konsep International Devicion of Labour teori Word-System, negara-negara di dunia pertamalah yang menguasai sistem dunia saat ini sebagai negara-negara pusat (core)- muara aliran surplus ekonomi yang bersumber dari negeri-negeri Pheriphey dan semi pheriphery.
Negara-negara pusat memainkan peran strategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lemabaga internasional. Sebagai contoh adalah ISO (International Standart Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdagangan lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas berbeda cara pandang dengan negara di dunia ketiga. Aturan tersebut banyak merugikan negara-negara ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara, sesungguhnya dapat diterima. Tetapi dalam kenyataan sistem neoliberal saat ini, prinsip kesetaraan hanya mimpi belaka. Prinsip perdagangan bebas yang di pandu dengan sistem moneter hampir- hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi negara dunia ketiga untuk bertahan, apalagi sampai mengeruk keuntungan. Dalam sistem dunia saat ini para pemilik modal besarlah yang mengambil untung.
Sementara indonesia berada persis di tengah- tengah pasar bebas dan terikat dengan berbagai perjanjian dagang baik level regional maupun internasioanl. Kita telah menandatangani keanggotaan WTO yang akan membentuk dunia sebagai satu pasar pada tahun 2025. Dalam jangka yang lebih pendek, selain telah membangun komitmen untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai pasar bebas pada tahun 2015, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian serupa dengan negara- negara Asia Pasific (APEC). Dengan kesepakatan¬ -kesepakatan tersebut, kemudian mencermati situasi sosial, politik dan ekonomi domestik saat ini, tak seorangpun yang tidak akan gelisah membayangkan Indonesia kedepan.
Apabila kita melihat sejarah panjang Indonesia (1945-2009) tampak bahwa negeri ini belum pernah sekalipun melakukan upaya serius untuk mengkonsolidasikan kekuatan sosial, Politik dan ekonominya mengadapi situasi dunia pasca perang dingin. Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia menjadi bulan-bulanan negara-negara core yang berebut sumber- sumber ekonomi untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul gerak kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti pernah di lakukan pada tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment ‘perubahan’ penting di indonesia (1996,1998), kita samasekali tidak memilki sekenario. Bila di cermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1996 ataupun 1998, kita di hadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya sehingga kita tidak siap mengambil kendali.
Fakta tersebut, menurud saya, menunjukkan bahwa sampai hari ini cara pandang kita sebagai bagian dari bangsa masih terlalu sempit, kalah luas di banding kaum pergerakan genarasi awal abad XX. Generasi terdahulu, meski tetap bukan contoh sempurna, membaca gerak dunia sambil mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan di ‘tikungan sejarah’. Sementara kita cenderung membaca gerak dunia dalam perdebatan teoritik yang kental, dan terhisap dalam perdebatan teoritik itu sendiri. Sehingga problem survival bangsa tidak kunjung di antisipasi. Apabila fakta ini tetap di pertahankan, maka kita tidak boleh marah atau mengeluh apabila 10,15 atau 20 tahun yang akan datang, peran- peran kepemimpinan yang menentukan survival bangsa kembali didominasi oleh kaum teknokrat. Kita tidak boleh marah apabila kaum pergerakan yang (merasa) memiliki pertaruhan nasib survival bangsa dalam jangka panjang justru di pinggirkan. Dan memang kita tidak boleh marah apabila posisi tersebut merupakan pilihan yang di ambil secara sadar. Namun, tentu saja tidaklah demikian.
Andai saja saat ini adalah 50 tahun silam dan kita telah memiliki keawasan seperti saat ini, niscaya kita akan mengikuti Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, gukan negociated independence seperti yang sudah kita pilih. Dengan merdeka sepenuhnya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri kedalam tanpa harus mengintregaskan diri (tanpa persiapan) dalam interaksi global yang asimetris seperti sekarang ini. Disitu, politik isolasi adalah pilihan yang mengandung konsekwensi tidak ringan. Bentuknya adalah seperti apa yang di lakukan China (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemoni dunia. China telah membuktikan, there is altrnative (TIA) selain blue print AS yang telah jadi pakem bagi negara- negara pinggiran (pheriphery).
Konsolidasi politik negara-negara penganut demokrasi liberal (Eropa dan Amerika) pasca perang dingin ke-2 ditunjukan untuk menciptakan format baru penjajahan dari bentuk lama kolonialisme dan imperialisme. Konsolidasi tersebut memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, regulasi ekonomi internasional dan pembentukan institusi- institusi global, seperti PBB,WTO, IMF, dan institusi regional seperti NAFTA. Institusi- institusi internasional inilah yang menciptakan aturan main politik skala global khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik internasioanal telah menggerogoti batas- batas teritori negara sehingga potensial unutk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara yang lain. Dampak lanjutanya, peran negara atas warganya semakin kecil, diganti oleh sebuah rezim global yang mampu menggerakkan Struktur sosial dan politik sebuah negara.
Indonesia saat ini tidak akan mungkin terhindar dari proses politik internasioanal tersebut, apalagi dengan posisi geografis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik yang strategis baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa keawasan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi aktor kecil dalam pentasa dunia. Sementara, aktor non-negra mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasioanal.

Tentang ALI SADAD

Seorang lajang yang masih peduli dengan komitmen untuk senantiasa belajar....
Pos ini dipublikasikan di Artikel, Globalisasi, Pendidikan. Tandai permalink.